Penulis Oleh : Juli Meliza dan Wardayani
Anggota ISEI Cabang Medan
Pemerhati Ekonomi Digital, Manajemen Keuangan UMKM dan Kebijakan Publik
PEMBANGUNAN jalan tol yang masif, meskipun krusial untuk logistik dan distribusi nasional, kerap menimbulkan dampak “pedang bermata dua”. Di Sumatera Utara, kita melihat bagaimana infrastruktur ini berpotensi ‘mematikan’ laju Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berada di jalur-jalur arteri lama. Tantangan struktural ini menuntut perencanaan ekonomi wilayah yang lebih matang agar pembangunan tidak hanya berpusat pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada penguatan ekonomi rakyat.
Di saat yang sama, kita dihadapkan pada tuntutan global untuk bertransisi menuju Ekonomi Hijau. Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di daerah, seperti hidropower, sayangnya belum termanfaatkan maksimal. Akar masalahnya sering kali adalah keterbatasan pemahaman teknis dan kalkulasi cost-benefit yang mendalam di tingkat pemangku kepentingan daerah. Ini adalah panggilan darurat yang harus dijawab secara terintegrasi oleh Generasi Z (Gen Z), sektor Teknologi Keuangan (Fintech), dan instrumen kebijakan Bank Indonesia (BI).
Menghidupkan UMKM : Peran Kebijakan dan Digitalisasi
Untuk ‘menghidupkan kembali’ UMKM yang terdampak tol, intervensi kebijakan yang terukur adalah keharusan. Pemerintah daerah (Pemda) wajib menyusun kajian penguatan ekonomi di level kabupaten, yang didanai APBD, lengkap dengan perhitungan multiplier effect agar investasi publik tepat sasaran.
Pemberdayaan harus fokus pada dua pilar :
Akselerasi Pelaku UMKM Perempuan :
Kelompok ini memiliki daya ulet yang tinggi dan perlu didukung dengan akses pembiayaan yang lebih luas melalui Business Matching dan literasi keuangan mendalam, didukung oleh program edukasi BI.
Mencetak ‘Jawara’ Industri Kecil dan Menengah (IKM) :
Kasus sukses IKM harus dijadikan cetak biru yang dapat direplikasi. Ini juga penting untuk mendorong Inovasi dan penguasaan skill teknis yang belakangan kurang diminati oleh Gen Z, yang cenderung lebih tertarik pada sektor non-pertanian.
Selain itu, literasi Fintech menjadi sangat krusial, terutama di wilayah seperti Sumatera. Integrasi digital akan mendorong pembayaran non-tunai, memperluas pasar, sekaligus memangkas high cost economy yang selama ini berbasis transaksi tunai.
Kalkulator Hijau dan Insentif Likuiditas BI
Komitmen terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) menjadikan transisi hijau sebagai keniscayaan. BI telah memberikan sinyal kuat dengan menjadikan EBT sebagai potensi utama penggerak pertumbuhan (growth driver).
Terobosan yang paling efektif adalah Kebijakan Kredit Likuiditas Mikro (KLM) Hijau BI. Bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas hijau—seperti hidropower, KPR/KKR hijau, atau pengolahan sampah—diberi insentif berupa pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM). Semakin besar penyaluran kredit hijau, semakin besar insentif likuiditas yang didapat perbankan.
Namun, implementasi di lapangan masih terkendala literasi EBT di daerah. Pemda seringkali tidak memiliki kapasitas untuk menghitung potensi EBT secara komprehensif. Di sinilah peran akademisi diperlukan untuk pendampingan aktif dalam mengintegrasikan potensi EBT ini ke dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Daerah.
Untuk transparansi, pengajuan kredit proyek hijau seharusnya diwajibkan menggunakan “Kalkulator Hijau” untuk menilai dampak lingkungan secara objektif.
Gen Z Kunci Masa Depan Inklusif
Pada akhirnya, semua upaya, termasuk kebijakan Local Currency Transaction (LCT) BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar , harus bermuara pada kerangka Integrasi Ekonomi Regional.
Gen Z, sebagai agen perubahan yang melek digital, dan Fintech, sebagai jembatan inklusif, adalah kunci untuk memastikan transisi ekonomi ini berjalan mulus. Pemerintah dan regulator harus cepat tanggap menyediakan regulasi yang adaptif demi terciptanya Indonesia yang berdaya saing, hijau, dan inklusif.


















